2 hours ago
4
Jakarta, CNBC Indonesia - Penculikan John Paul Getty III pada 1973 tercatat sebagai salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah keluarga terkaya di dunia. Peristiwa ini menunjukkan satu ironi besar kekayaan miliaran dolar tak selalu mampu melindungi anggota keluarga dari bahaya.
John Paul Getty III merupakan cucu J. Paul Getty, taipan minyak asal Amerika Serikat yang pada masanya dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia. J. Paul Getty membangun kekayaannya sejak awal abad ke-20 dengan mengakuisisi dan mengembangkan ladang-ladang minyak, terutama di Amerika Serikat dan Timur Tengah.
Bisnis tersebut berkembang pesat melalui Getty Oil Company, yang menjelma menjadi salah satu perusahaan minyak paling berpengaruh di dunia. Titik baliknya terjadi pada 1957 ketika harga minyak global meningkat dan membuat kekayaan Getty melesat tajam. Majalah Fortune pun menobatkannya sebagai orang terkaya nomor satu di dunia.
Dengan latar belakang tersebut, kehidupan anak dan cucu Getty sejatinya sangat terjamin. Namun John Paul Getty III justru memilih jalan berbeda.
Dikutip dari buku Kidnapped: The Tragic Life of J. Paul Getty III (2018), sejak usia belasan tahun, pria kelahiran 4 November 1956 ini enggan bergantung pada kekayaan keluarga. Dia memilih hidup sederhana di Roma, menjual lukisan, dan menjadi figuran film demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Mengutip BBC International, pilihan hidup inilah yang tanpa disadari membawanya pada malapetaka. Pada dini hari 10 Juli 1973, Getty III yang baru berusia 16 tahun diculik di pusat kota Roma oleh kelompok kriminal Italia, 'Ndrangheta. Kelompok mafia ini dikenal kerap menculik orang untuk meminta tebusan, tetapi kali itu mereka mendapatkan sasaran yang jauh lebih besar dari dugaan, yakni cucu orang terkaya di dunia.
Ketika Getty III menghilang, keluarganya justru sempat mencurigai, peristiwa tersebut hanyalah rekayasa. Dia diduga sengaja menghilang untuk memeras ayah dan kakeknya yang dikenal sangat pelit. Namun, dua hari kemudian, kecurigaan itu runtuh.
Sang ibu, Gail Harris, menerima telepon anonim yang menyatakan anaknya telah diculik. Para penculik menuntut uang tebusan sebesar US$17 juta atau Rp280-an miliar pada masa sekarang sebagai syarat pembebasan.
Akan tetapi, respons sang kakek tegas dan tidak mau membayar tebusan. Dia beranggapan, membayar uang tersebut hanya akan mendorong penculikan serupa di kemudian hari, termasuk terhadap cucu-cucunya yang lain.
Penolakan itu lantas membuat negosiasi buntu. Alhasil, selama berbulan-bulan, Getty III ditahan di lokasi terpencil di wilayah Calabria, Italia selatan. Selama itu pula, dia disiksa setiap hari tanpa henti sebagai upaya menekan keluarga. Hingga akhirnya, akibat kesal tuntutan tak terpenuhi, para penculik melakukan langkah ekstrem.
Pada November 1973, sebuah paket dikirim ke kantor surat kabar Il Messaggero di Roma. Isinya mengejutkan. Terdapat sepotong telinga manusia, sehelai rambut berlumuran darah, dan pesan ancaman singkat.
"Ini telinga Paul. Jika kami tidak menerima uang dalam 10 hari, telinga yang lain akan menyusul. Setelah itu, dia akan dikirim dalam potongan-potongan kecil," ungkap pesan para penculik, dikutip dari The Washington Post.
Pada titik inilah, pihak keluarga baru ketar-ketir. Mereka berniat membayar tuntutan sebesar Rp280-an miliar dan menaruhnya di tempat yang sudah disepakati. Setelahnya, pada 15 Desember 1973, Getty III ditemukan setelah hampir 6 bulan diculik dalam keadaan kritis.
Meski perlahan kondisi mulai normal, trauma penculikan itu membekas seumur hidup. Sebagai cara agar tidak depresi, Getty III kemudian terjerumus dalam kecanduan narkoba hingga menderita stroke pada 1981. Sejak saat itulah, dia dirawat oleh ibunya hingga meninggal dunia pada 5 Februari 2011 di London dalam usia 54 tahun.
(mfa/mfa)
