Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena pengusaha Indonesia yang memindahkan aset atau perusahaan ke Singapura kerap menjadi sorotan, terutama ketika kebijakan pajak dalam negeri dianggap semakin menekan. Meskipun marak terjadi belakangan ini, praktik tersebut ternyata bukan hal baru dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Lebih dari seabad lalu, seorang konglomerat besar sudah lebih dulu mengambil langkah serupa hengkang ke Singapura demi menghindari beban fiskal yang dianggap tidak adil. Kisah itu datang dari Oei Tiong Ham, salah satu pengusaha terbesar yang pernah lahir di Nusantara.
Tekanan pajak yang kian memberatkan membuatnya memilih meninggalkan Hindia Belanda. Keputusan itu tidak hanya mengguncang ekonomi kolonial, tetapi juga menjadi salah satu contoh paling awal bagaimana kebijakan fiskal bisa mendorong keluarnya pemilik modal dari satu negara.
Oei merupakan pendiri Oei Tiong Ham Concern (OTHC), perusahaan gula terbesar di dunia pada 1893. OTHC berbasis di Semarang tetapi memiliki jaringan internasional hingga India, Singapura, Jepang, dan London.
Banyaknya perkebunan membuat OTHC menguasai hampir separuh bisnis gula global. Lini bisnisnya pun perlahan meluas ke perbankan, pelayaran, dan pergudangan. Sejarawan Onghokham dalam Konglomerat Oei Tiong Ham (1992) mencatat kekayaan Oei mencapai 200 juta gulden.
Namun, kekayaan raksasa itu justru membuat pemerintah kolonial menjadikan Oei sebagai sasaran empuk untuk menambal defisit pascaperang. Tekanan pajak yang kian mencekik inilah yang kelak mendorong sang raja gula hengkang ke Singapura dan membuat pemerintah kolonial gigit jari karena kehilangan salah satu pembayar pajak terbesar mereka.
Foto: Oei Tiong Ham. (Dok. Wikipedia)
Oei Tiong Ham. (Dok. Wikipedia)
Tagihan Mencekik, hingga 50% dari Pendapatan
Dalam Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang (1979), Liem Tjwan Ling mencatat pemerintah kolonial pernah menagih 35 juta gulden kepada Oei. Padahal, seperti ditulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), Oei selalu membayar pajak tepat waktu dan utuh. Masalahnya, setiap selesai membayar, selalu muncul tagihan baru, bahkan mencapai 40-50% dari pendapatan.
Di titik ini, Oei merasa ada penyelewengan. Dia menolak membayar pajak tambahan dan memutuskan untuk memutus hubungan dengan pemerintah kolonial, termasuk dengan meninggalkan Hindia Belanda.
Ketika pemerintah kian menekannya, muncul kabar bahwa Oei akan pergi ke Eropa. De Telegraaf (19 Mei 1920) menulis sang miliarder akan berangkat dan menetap lama di sana. Namun pada 1921, rencana itu berubah. Atas saran pengacaranya, Eropa dianggap tidak ideal karena pajaknya jauh lebih mahal. Singapura, saat itu di bawah jajahan Inggris, dinilai lebih menguntungkan.
Pindah ke Negeri Singa, Pajak Turun Drastis
Sejak 1921, Oei pun resmi hengkang dari Semarang dan menetap di Singapura bersama istri ketujuh dan anak-anaknya. Beban pajaknya langsung merosot tajam. Jika di Hindia Belanda dia harus membayar 35 juta gulden, di Singapura ia hanya membayar 1 juta gulden.
Di kala pemerintah kolonial gigit jari, Oei melakukan banyak ekspansi di Singapura. Ia membeli tanah dan rumah dalam jumlah besar. Menurut catatan Liem, total luas aset properti yang dibelinya setara seperempat wilayah Singapura. Seluruh unit dibeli atas nama pribadi Oei, sebuah skala kepemilikan yang hanya bisa dilakukan konglomerat kelas atas.
Perpustakaan Nasional Singapura mencatat pengaruh besar Oei di negeri baru itu. Ia membeli Heap Eng Moh Steamship Company Limited, menjadi salah satu pemilik awal saham Overseas Chinese Bank (OCB), yang kini menjadi OCBC, dan menyumbang US$ 150.000 untuk pembangunan gedung Raffles College.
Ia juga aktif menyokong sekolah, rumah sakit, hingga lembaga sosial. Jejak kontribusinya begitu besar hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan dan bangunan di Singapura.
Menariknya, selama tinggal di Singapura Oei berstatus tanpa kewarganegaraan. Ia melepaskan status Warga Negara Hindia Belanda, namun tidak menjadi Warga Negara Inggris. Status ini melekat hingga ia wafat pada 6 Juli 1924, tiga tahun setelah pindah.
(wur/wur)

7 hours ago
5

















































