Sinyal Bahaya Menyala, Industri Strategis RI Dalam Situasi Kritis

7 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi industri yang menyerap banyak tenaga kerja atau yang dikenal dengan industri padat karya sedang bermasalah, mulai dari industri tekstil dan produk dari tekstil, minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), hingga tembakau.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, pun blak-blakan, pihaknya kini tengah berusaha keras menyuarakan kondisi terpuruk industri padat karya itu, sebab efeknya telah banyak dirasakan, seperti maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Sekarang semua sebenarnya padat karya terimbas, makanya kenapa sekarang kita lebih banyak menyuarakan padat karya," kata Shinta saat ditemui di Kantor DPP Apindo, Jakarta, dikutip Jumat (16/5/2025).

Jumlah PHK berdasarkan catatan Apindo pada periode 1 Januari 2025 - 10 Maret 2025 telah mencapai 114.675 orang. Terdiri dari jumlah peserta yang tidak lagi menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan karena PHK sebanyak 73.992 orang dan jumlah peserta yang mengajukan klaim JHT BPJS TK karena PHK 40.683 orang.

Data PHK ini melanjutkan kondisi pada 2024 yang mencapai 411.481 orang. Terdiri dari jumlah peserta yang tidak lagi menjadi peserta BPJS TK sepanjang tahun lalu yang mencapai 257.471 dan jumlah peserta yang mengajukan klaim JHT BPJS TK sebesar 154.010 orang.

Shinta mengatakan maraknya PHK ini membuat daya beli masyarakat kian melemah, tercermin dari terpuruknya kondisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang bahkan tak lagi mampu menyentuh level 5%, tepatnya hanya mampu tumbuh 4,87% secara tahunan atau year on year (yoy).

Faktor utama penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang porsinya mencapi 54,53%, yakni konsumsi rumah tangga bahkan hanya mampu tumbuh 4,89% yoy, menjadikan kondisi pertumbuhan konsumsi rumah tangga terendah dalam lima kuartal terakhir.

"Terendah dalam 5 kuartal terakhir. Dan melanjutkan tren di bawah 5% meskipun ini mencakup periode Ramadan yang biasanya mendorong peningkatan belanja masyarakat. Jadi kelihatan sekali rasanya Ramadan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya," kata Shinta.

Lemahnya permintaan, karena daya beli masyarakat tengah terpuruk membuat pertumbuhan industri padat karya ikut terpuruk. Mengutip catatan tim riset CNBC Indonesia, industri tekstil dan pakaian jadi hanya mampu tumbuh 4,64% pada kuartal I-2025, anjlok dari pertumbuhan kuartal IV-2024 yang masih mampu tumbuh 7,17%.

Lalu, industri pengolahan tembakau bahkan mengalami kontraksi, dengan kemerosotan kinerja pada kuartal I-2025 minus 3,77%. Melanjutkan kinerja tren pelemahan pada kuartal IV-2024 yang tumbuhnya hanya 1,89%. Industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki juga hanya tumbuh 6,95%, ambruk dari sebelumnya tumbuh 9,16%.

"Jadi semua industri padat karya, termasuk tekstil, garmen, sepatu, itu sedang kena semuanya, jadi ada dua, demand dan supply. Kalau dari demand kelihatan demand dalam negerinya anjlok, demand luar negerinya juga anjlok," kata Shinta.

Sementara itu, industri CPO tengah menghadapi pelemahan harga dengan kontraksi mencapai minus 6,67% dibanding kuartal sebelumnya, sama seperti harga batubara yang minusnya sampai 21,28%. Salah satu penyebabnya ialah melemahnya permintaan di tingkat global maupun domestik.

Shinta mengatakan, lemahnya permintaan ini menjadi alasan terbesar perusahaan melakukan pengurangan karyawannya. Dari hasil survei Apindo pada 17 - 21 Maret 2025 terhadap lebih dari 350 perusahaan anggota, 69,4% mengatakan bahwa PHK dilakukan karena penurunan permintaan yang terus memburuk.

"Makanya sekarang kenapa kita perlu revitalisasi padat karya, karena PHK ini menjadi satu perhatian yang sangat mengkhawatirkan buat kita," tegas Shinta.

Selain soal permintaan yang merosot, Shinta menekankan, biaya produksi yang tinggi di Indonesia, karena banyaknya pungutan terhadap sektor tersebut oleh pemerintah menjadi salah satu penyebab lesunya kinerja industri padat karya.

"Satu sisi kami mengerti juga pemerintah mau naikin penerimaan tapi di sisi lain jangan sampai berdampak juga ke situasi yang sudah sulit doing business-nya, karena perusahaan juga akan sangat terganggu," ujar Shinta.

Terpisah, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Misbhakun, turut menyoroti persoalan ini. Khususnya pada sektor tembakau, penyebab lesunya adalah kebijakan cukai yang terlalu agresif. Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai, pada 2022 penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 218,3 triliun dengan produksi 323,9 miliar batang dan kenaikan tarif tercatat 12%.

Sementara pada 2023 produksi menurun menjadi 318,1 miliar batang yang menyebabkan penerimaan cukai hasil tembakau menjadi Rp 213,5 triliun dan kenaikan tarif 10%. Pada 2024, produksi menurun menjadi 317,4 miliar batang, namun penerimaan meningkat menjadi Rp 216.9 triliun dengan kenaikan tarif 10%. Sepanjang kuartal-I 2025, CHT tercatat Rp 55,7 triliun. Adapun untuk produksi rokok golongan 1 menurun hingga 10,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Yakni sebesar 34,7 miliar batang.

"Karena itu eksesif dari sisi produksi dan eksesif terhadap penerimaan cukai kita, maka harus dikaji ulang," tegas Misbakhun.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Jumlah PHK Januari-Maret 2025 - Microsoft PHK 6.000 Karyawan

Next Article Gelap! Begini Ramalan Pengusaha Soal Ekonomi Indonesia 2025

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |